Minggu, bahasaku dapat memahami ketika aku berjalan, kemana aku melangkah, dimana aku melabuhkan rinaiku. Meski tak berarti waktu itu apa, kadang habis saja untuk mencapai dermaga. Lelah ya lelah. Bahagia ya bahagia. Semua urusan keharusan. Kau pasti tau apa maksudnya..
Senin, ada yang tampak hitam. Manakala aku mulai melihat apa yang berdiri di hadapan, bukan menaruh tundukan yang tidak semestinya. Toh kau juga akan mengerti bagaimana rasanya warna.
Selasa, itu adalah siang kala pejuang menaruh harapan. Mereka bergumam, mereka tidak diam. Mungkin ada yang bernyanyi sekali waktu. Berlari, berbalik, melepas energi. Raga semangat jiwa.
Rabu, beradu keluasan. Mengindah keluwesan. Berbagi keceriaan. Berlari dengan keringat tawa. Mata tak lagi harus menahan kondisi ruangan, kaki tak lagi harus memimpikan permainan, dan tangan menggenggam kenyataan. Apapun itu, aku datang, aku sambut, aku bermain, aku belajar. Dan mereka adalah pembahagia.
Kamis, Beralih sedikit kata. Setidaknya sedikit berkurang apa itu kebosanan. Pagi yang beralih kesana sini, tak bisakah lihat mereka para pelakon kehidupan? Tatap dan rasakan. Siapa itu mereka.
Jumat, kataku penawar harga yang mati. Tidak selamanya satu tindakan, tidak selalunya memakan awan. Entah soal kepantasan, apakah aku dapat membalikkan keadaan kembali? Itu masalah pengkondisian.
Sabtu, rasaku lebih luas memandang hujan. Berharap menoleh bahkan tiga detik bukan suatu yang tidak, kadang. Bermimpi bertemu bintang, memeluk bintang, dan menunjukkan pias manja yang sama. Walau aku seperti melihat bukan bintangku. Aku masih bisa pertimbangkan itu. Aku tak pernah habis rindu.
Hariku, tak kan bisa terhenti. Kadang habis saja sendiri. Entah melakukan apa, asal tidak mengulas wajah kemarin seperti para pengumpat kejenuhan. Haha tidak ada yang tahu apakah hari dibuat menyesal atau benar benar tenang, mungkinkah adanya biasa. Seperti itulah penutupku ketika aku mengetikkan tinta hitam di depan layar kendali coretan.
Serang, 21 Januari 2013. 21:40.
Merasakan hari-hari di XII IPA 2 🙂