pergi adalah kemestian. pergilah.
kita tahu, ingatan tidak butuh
jam tangan—hanya seseorang
di kejauhan.
(Perjalanan Lain Menuju Bulan, Aan Mansyur)
Ada yang tak bisa terurai oleh kata-kata. Di dadaku, harapan seperti memasuki suasana musim gugur. Ingin kutimpa segala cemas dan siksa menjadi senyum yang ceria, tapi di depanmu, tetiba aku lupa rencana sebelumnya.
Aku butuh gelombang untuk bicara. Sebab saat ini, puisi dan segala metafora tak pernah cukup untuk bisa mengatakan semuanya. Pertemuan terakhir kali kita waktu itu seperti karma yang diberi semesta. Aku benci saat tubuhku sendiri mendadak tak punya energi. Tak ada sapaan santai seperti biasa, bahkan aku tak berdaya hanya untuk sekadar menatap mata.
Sejak dulu, kita memang tak pernah jadi siapa-siapa, tak pula miliki kisah apa-apa. Aku hanya orang asing yang kebetulan singgah kemudian mengenalmu dan memiliki perasaan yang aneh setelah itu. Aku tak pernah mau melupakan, jadi aku selalu berusaha merawat kenangan dengan menjadikan ingatan sebagai kamera tunggal; merekam kejadian lucu yang selalu berhasil menjadi memoar rindu.
Di dalam perjalanan waktu, aku tak pernah menunggu tapi seperti orang yang menunggu. Aku cukup tahu kamu pasti tak akan mengharapkan itu. Aku selalu berharap bisa menemukanmu di mana-mana. Di mall yang ramai, di sudut kafe sambil berbincang, atau tak sengaja lewat di pinggir jalan. Bagiku, melihatmu seperti menemukan sebuah ketentraman. Dan aku tak perlu lagi menjadi gelisah sendirian.
Siapapun pasti tak pernah suka dengan perpisahan, tidak pula denganku. Aku pernah sedikit bersedih saat menghadapi perpisahan beberapa tahun lalu. Karena itu adalah sekat awal kita tak bisa lagi berjumpa setiap harinya, seperti biasa.
Baca Juga:
Satu Hari di Bulan Maret
Kukira, tahun ini semua bisa menjadi dekat di depan mata. Meski tak bisa menemukanmu setiap hari, aku tidak perlu cemas karena kamu ada di sini. Kesempatan untuk bertemu mungkin akan lebih besar dari yang dulu. Tapi sepertinya aku kembali harus kecewa, sebab kamu akan pergi lebih jauh dari yang aku kira. Benar kata Shakespeare, expectation is the root of heartache. Aku memang bukan perempuan yang beruntung sepertinya.
Aku kepadamu yang kerap bertanya hal-hal tak penting semacam “apa kabar?”. Mungkin saat itu, aku tidak tahu lagi bagaimana cara mengatasi perasaan. Tapi setidaknya aku berusaha untuk tidak lebih dari itu.
Aku tahu, setiap orang punya proses dan waktunya masing-masing, layaknya kamu yang sudah cukup dipersiapkan Tuhan untuk melebarkan sayap dan jauh terbang. Kelak, semoga hal-hal asing tidak pernah menjumpai kita setelah ini dan beberapa tahun nanti.
Jika kau ingin mengucapkan selamat tinggal, kata Aan Mansyur, jadilah seperti matahari tenggelam. Aku tidak tahu bagaimana menjadi matahari, tapi semoga perjalanan kamu lancar, sampai nanti.
1 Response
[…] Baca Juga: Tentang Perjalanan Menuju Hal-hal Asing […]