Prosa · Juni 13, 2014 6

Saat Cinta Melupa

“Lupakanlah cinta yang kita tak punya kemampuan untuk mengatakan dan membuktikannya. Lupakanlah cinta yang keindahannya hanya fatamorgana di padang pasir. Lupakanlah cinta yang bahkan kita masih ragu untuk menyebutnya cinta. Cintailah saja hal-hal yang kita memang sanggup mencintainya. (A.N.A)”

Rasanya adalah hal yang wajar saat aku mengatakan “apa yang kurasakan, nampaknya adalah cinta”. Pun dengan apa yang pernah kutulis kemarin, atas keraguan perasaanku. Semuanya menunjukkan bahwa aku sedang berada dalam dimensi ‘jatuh’. Tetapi, seiring berlewatnya waktu, kesederhanaan perasaan yang kurasakan semakin pudar. Kesederhanaan tentang bagaimana jiwa memaknai rasa. Ia kini telah berganti menjadi imaji-imaji yang rumit. Mungkin ini adalah sebab dari terlalu dalamnya aku menyelami hatiku sendiri.

Katanya, kita terlalu ambisius apabila mempertahankan cinta yang tak jelas muaranya. Karena setelah itu, yang ada hanyalah rasa keingintahuan yang besar dan kita akan menemukan realita ketidakpastian di sana. Dan aku merasakan keduanya. Pertama, tentang rasa ingin tahu. Tahukah, seberapa sering aku bertanya pada diri sendiri, tentang hal-hal kecil mengenai ia, yang kuubah menjadi pertanyaan besar yang rasanya sulit untuk dijawab? Lalu setelah itu, habislah otakku untuk menerka-nerka segalanya. Kedua, saat pikiran lelah bekerja untuk menerka, maka kemudian bergantilah pemikiran-pemikiran atau terkaan-terkaan tersebut menjadi sebuah pernyataan yang tidak pernah kutahu letak kepastiannya. Disitulah realita kepastian membuat semua rasa pesimisme naik hingga ubun-ubun. Sebab itu, aku harus segera sadar bahwa cinta memang butuh kesiapan yang besar kalau-kalau takdir yang kuharap memang tidak menghampiriku.

Mungkin dari situlah aku harus mulai belajar bagaimana cara melupakan. Sejenak saja, aku ingin sejenak lupa. Tentang rasa yang bergejolak di jiwa yang tak bisa lagi aku temui ujungnya. Tentang ia, yang tak kutahu kedalaman hatinya. Tentang aku pula, yang tak pernah sanggup untuk berkata. Karena jika terus dibiarkan rasanya akan membuat diriku sendiri menjadi semakin tidak produktif.

Maka kutulis lagi, sejenak saja, aku ingin sejenak lupa. Lupakanlah cinta, meski terasa luka.