Kesehatan · Agustus 4, 2021 18

Mengelola Anger Management Mulai dari Diri Sendiri

anger management
(Foto: ACCA Global).

Bosku pernah bilang, seburuk-buruknya keadaan, jangan hilang kontak dengan teman, jangan menghilang dari media sosial. Karena bisa jadi, itu hanya akan membuat kita depresi berkepanjangan. Tak bisa dipungkiri bahwa pasti banyak keadaan yang membuat kita kerap kali tertekan. Perasaan marah terhadap keadaan adalah yang paling riskan, sehingga anger management teramat diperlukan.

Beberapa orang memiliki kesulitan dalam mengekspresikan perasaan, beberapa lainnya hanya perkara mudah. Aku termasuk kategori yang pertama. Saking enggak tahu gimana cara merepresentasikannya, jalan yang kuambil seringnya salah, ujungnya cuma bisa marah padahal tujuannya bukan ke sana. Yang ada, menambah masalah baru jadinya.

Semakin dewasa aku menyadari betapa memiliki anger management juga yang terpenting. Sebab kita enggak bisa selamanya ingin berada dalam situasi yang ajaib, di mana semua orang bisa sadar kalau kita sedang marah, tanpa mengucapkan kalimat apa-apa. Bagaimana lagi, tidak semua orang mudah membaca isyarat, bahkan terkadang, pasangan kita sendiri belum tentu paham.

Jadi, mulai dari diri sendiri adalah koentji.

Baca Juga: Mari Berupaya Meningkatkan Daya Ingat

Hal pertama yang bisa dilakukan adalah mengenali pemicu dan tanda-tanda fisik emosional ketika kita mulai marah. Salah satu yang kukira paling punya potensi besar memicu hal-hal emosional adalah perasaan stres. Stres ini sangat bisa memicu bahkan memperburuk amarah kita. Di mana kita bisa melampiaskan kemarahan dengan orang sekitar, padahal masalah kita sebenarnya adalah tekanan sosial, cekcok dengan rekan kerja, sampai ke hal-hal yang memang sangat psikologis.

Bukan cuma soal emosi, ada berbagai pemicu fisik yang juga harus selalu dijaga. Kurang tidur, berdebarnya jantung, hingga bertengkar di dalam mobil. Kalau ini sih udah kayak film pendeknya Rentjana ‘Kita Tak Bisa ke Mana-mana Lagi’. Yang lagi nostalgia cerita-cerita manis dan lucu di masa lalu, malah jadi nyerempet kondisi waktu dulu yang malah mengarahnya ke hal-hal sensitif. Padahal, baik Gigi ataupun Nino udah sama-sama ada di fase persiapan nikah dengan masing-masing pasangan.

Emosi sesaat tampaknya memang jadi penyebab terbesar mereka dahulu putus begitu saja. Orangtua Gigi marah ketika Nino enggak jenguk sama sekali Gigi waktu dia sakit. Padahal, Nino mengira Gigi memutuskannya karena orangtua Gigi tidak ingin ia bersama Nino karena tidak punya penghasilan tetap yang besar. Nino juga sama, emosi sesaat bikin mental dia jatuh ke jurang. Enggak percaya diri menambah daftar alasan dirinya untuk menerima kandasnya hubungannya dengan Gigi.

Akhirnya, enggak bisa mengontrol emosi, enggak tahu cara berkomunikasi, malah jadi bumerang buat diri sendiri.

Sungguh, merespons faktor kemarahan dengan cara yang tidak agresif sebelum marah menjadi kesulitan banyak orang. Memang butuh keterampilan dan pembiasaan agar bisa mengelola situasi yang mungkin dapat memicu kemarahan. Sebab, seseorang yang tengah dipengaruhi emosi sesaat seringkali tidak dapat berpikir logis. Boro-boro mengoreksi pemikiran, mengenali situasi pun belum enggak bakalan.

Baca Juga: Salah Kaprah Rapid Test

Sehingga memang benar, menenangkan diri ketika mulai merasa emosional butuh pembiasaan yang panjang supaya bisa mengekspresikan perasaan dan kebutuhan emosional dengan tegas tanpa bertindak agresif.

Satu lagi yang paling berat untuk disadari. Memilih marah seringnya jauh lebih mudah tinimbang fokus terhadap pemecahan masalah. Padahal, dampaknya akan jauh menyakitkan, bisa menimbulkan frustrasi yang justru menghabiskan energi.

Sepertinya, jalan mengelola emosi memang tidak mudah. Tapi, faktor itu masih ada di dalam internal sehingga amat bisa dikendalikan. Selamat memulai.