Sebagai seorang manusia biasa, aku pernah merasa betapa hidup ini sangat menyesakkan dada. Seakan-akan perihnya luka hanya akulah pemiliknya. Tak ada yang mengerti dan peduli. Menjadi yang paling kesepian di antara bintang-bintang di Bumi.
Lalu aku memilih untuk menyendiri dan terus sendiri. Mengurangi interaksi media sosial, menghapus banyak kontak dan pertemanan, menjauh dari percakapan-percakapan.
Aku seperti punya ruang untuk menyimpan luka dan trauma, meski aku sendiri tak punya resep mujarabnya. Sebab tidak ada yang bisa menemukanku di sana. Air mata pun tak perlu lagi menjadi rahasia. Ruang itu kuanggap bisa menjadi tempat pemulihan diri yang utuh.
Baca Juga: Merawat Keyakinan
Waktu terus membawaku menuju tahun-tahun baru. Aku masih saja memaksa bersembunyi tanpa banyak mau tahu lagi. Pertemanan yang setia seolah redup begitu saja. Pudarnya rasa percaya benar-benar membuatku gelap mata. Aku merasa kehilangan diri sendiri di saat yang sama.
Kemudian, aku mulai membuka pintu ketakutan secara perlahan. Membalas pesan-pesan yang pernah kuabaikan, menjawab kabar kehilangan dengan beragam candaan. Semua bermuara pada pertemuan.
Lewat tatap muka sederhana itulah aku menemukan jawaban. Betapa aku merindukan berbagi keceriaan dan cerita-cerita lama yang selalu berhasil menjadi objek tawa.
Aku mulai sadar bahwa banyak momen bahagia yang telah kulewatkan begitu saja. Kini aku tahu, bahwa ketika aku memilih merawat luka sendirian, ternyata di saat itu pula aku sedang membuat orang lain terluka dan kesepian. Seperti yang banyak orang katakan, penyesalan memang kerap berakhir belakangan.
Baca Juga: Diri Sendiri; Tempat Pulang Paling Murni
Pada akhirnya, aku memberanikan diri membawa tubuh penuh luka ini keluar dari ruang yang sempat kuanggap paling aman di dunia. Mencoba berbicara dengan orang-orang yang menganggapku ada. Berbagi soal cerita cinta, menertawakan apa saja. Menjadi bahu telinga dan teman bicara seperti sedia kala—bagian yang sejak dahulu paling aku suka.
Meski kebersamaan tak sepenuhnya mengobati luka, semoga ia ada untuk meretas ingatan kita tentang waktu yang terus berjalan tanpa jeda.
12 Juni 2020
Terus semangat. Doaku menyertaimu.
Mantap. Terima kasih, Alexa.
Kadang memang butuh sendiri untuk merawat luka.tapi lebih ringan jika perasaan itu dibagikan ke orang lain yang bisa dipercaya tentunya. Tetap semangat!!
Jangan sepelekan edisi curhat
Bukan hanya ke Mamah Dedeh, tapi siapa saja yang bikin kita nyaman
Termasuk hewan peliharaan
Saya dianggap stres ketika ngajak ngomong kucing dan ayam. Padahal justru itu obat stres. Hehhee
Gak mudah memang untuk move on, tapi harus dari kitanya ya berupaya, karena gak hanya buat diri tapi orang tersayang juga. SemangatCiee selalu dan berdoa
Memang tak mudah untuk segera bangkit setelah terluka. Kita perlu waktu untuk menyembuhkan diri. Pelan-pelan saja, semua ada saatnya. Yang penting tetap berpikiran jernih, ya. Semangat.
Tak apa-apa merasa terluka. Tak apa-apa menangis. Tak apa-apa bersedih.
Dari situ kita bisa melihat, mana yang benar-benar teman dan mana yang bukan. Mana yang benar-benar baik dan peduli, mana yang hanya baik kalau ada maunya.
tak mudah untuk sembuh dari luka, apalagi luka batin yang membekas. Perlu perjuangan untuk bangkit dan kembali bisa muncul ke permukaan. Semangat sembuh 100% dan jangan lupa konsultasi expert jika perlu
aku kalo mendem sendiri gak bisa mbak, kudu ada yang harus diceritain seperti ibuk atau pasangan. Apapun yang membuat luka kalau diceritakan ke orang yang dipercaya lebih ringan aja. Semangat
Kita berhak bahagia, walau pun butuh waktu untuk mengembalikan ke rasa semula. samangat kaka Happy 🙂
Merawat “luka” sendirian itu tidak mudah. Aku jadi ingat kejadian 11 tahun silam saat memiliki luka yang sangat dalam akhirnya aku pertama kalinya diusia dewasa memeluk ibuku. Karena ternyata aku nggak bisa sendirian.
Kalau saya sih tidak melawan luka tetapi menyadari dan mencoba memahami mengapa luka itu hadir
Setelah itu belajar untuk tidak terluka lagi
Tetap semangat, memang awalnya kita perlu waktu untuk memikirkan segalanya tapi jangan terlalu lama, bangkitlah karena kita juga berhak untuk bahagia
Menangis adalah obat mujarab bagi diriku ketika merasa terluka. Menyepi sendiri di tempat tidur, atau berkendara santai keliling kota. Setelah sampah emosinya keluar, baru balik lagi ke tengah keluarga. Semangat, Kak
Take ur times kak. Bersedih secukupnya, menangis secukupnya. Lalu bangkit kembali jadi pribadi yang lebih baik. The darkest time is always before sunrise, kak!