Kesehatan · September 15, 2021 8

Kusta dan Stigma yang Menghampiri Kita

kusta stigma

Perkembangan informasi yang semakin cepat di era digital selayaknya bisa memunculkan tingkat literasi informasi yang semakin baik. Sayangnya, masih banyak tantangan besar yang muncul terkait literasi informasi ini, salah satunya soal literasi kesehatan.

Marak sekali informasi yang tidak valid atau hoaks. Seperti halnya hoaks kesehatan tentang penyakit kusta. Banyak orang menyebut kusta sebagai penyakit kutukan yang tidak bisa disembuhkan dan perlu dijauhkan dari lingkungan.

Orang yang terdiagnosa kusta maupun penyandang disabilitas akibat kusta ini seringkali mendapatkan stigma dan perlakuan diskriminatif dari masyarakat karena disinformasi yang beredar.

Kasus Kusta di Indonesia

Dalam Talkshow Ruang Publik KBR ‘Gaung Kusta di Udara’, Senin,12 September 2021, Junior Technical Advisor NLR Indonesia, dr. Febrina Sugianto mengatakan bahwa data kasus kusta Indonesia tahun 2020 ini jumlahnya mencapai 16.439, turun dari tahun 2019 yang mencapai 16.700.

Namun ada dugaan yang muncul terkait penurunan kasus tersebut. Hal pertama adalah bahwa penurunan itu benar-benar terjadi, yang artinya effort yang dikeluarkan seluruh pihak untuk mengeliminasi kusta tercapai. Akan tetapi, hal kedua yang mungkin terjadi adalah karena screening kusta ini belum dilakukan secara rutin. Terlebih setelah adanya pandemi Covid-19.

Sampai saat ini masih ada 8 provinsi yang belum mencapai eliminasi kusta, yaitu Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. 113 kabupaten/kota juga dilaporkan belum mencapai eliminasi kusta. Proporsi kasus anak sendiri masih relatif tinggi, yakni 10 persen di tahun 2020.

Baca Juga: Salah Kaprah Rapid Test

Jenis-jenis Kusta

Badan Kesehatan Dunia (WHO) sendiri mengklasifikasikan kusta menjadi dua tipe, yaitu pausibasiler (PB) dan multibasiler (MB). Seperti kata dr. Febrina, di Indonesia ini penderita kusta terbanyak adalah tipe multibasiler.

Untuk perbedaan kedua tipe kusta tersebut bisa terlihat dari bentuk dan beberapa tanda utama.

Pausibasiler: Tipe ini memiliki jumlah lesi yang lebih sedikit, karena jumlah kumannya yang juga lebih sedikit daripada multibasiler. Lesi sendiri adalah bercak di kulit. Kemudian, ia memiliki warna yang lebih cerah dari warna kulit sekitarnya.

Distribusinya pun asimetris, jadi ketika penderita muncul kusta di telinga kanan, maka hanya akan ada di telinga kanan saja. Ada mati rasa juga pada lesinya di bagian warna yang lebih muda, sehingga jika disentuh tidak terasa karena fungsi saraf berkurang di area tersebut.

Biasanya, pausibasiler hanya meliputi satu gangguan fungsi saraf. Jika muncul di wajah, maka tidak ada fungsi saraf lain yang terganggu.

Multibasiler: Tipe ini memiliki lebih dari 5 lesi karena jumlah kumannya lebih banyak. Bisa ada di punggung dan di tempat lainnya. Distribusinya pun simetris, jadi kalau ada di sisi kanan, ada juga di sisi kiri. Multibasiler ini tersebar merata. Tapi mati rasanya tetap ada dan mempengaruhi lebih dari satu saraf.

Stigma Kusta yang Menghampiri Kita

Sampai saat ini, stigma buruk tentang kusta masih menghampiri kita. Tak ayal, hal ini membuat sang penderita tidak berani muncul ke permukaan, yang menyebabkan tracing penyakit kusta juga sulit dilakukan.

Ada banyak stigma buruk dan hoaks yang beredar tentang penyakit satu ini. Seperti halnya banyak orang bilang jika kusta adalah penyakit kutukan yang terjadi akibat dosa yang dilakukan di masa lalu.

Stigma ini tentu saja memperburuk kondisi mental penderita. Jika mereka percaya bahwa kusta adalah sebuah kutukan, maka mereka cenderung memiliki perasaan malu untuk keluar dan mencari pertolongan. Pada akhirnya, mereka tidak akan mencari solusi sehingga kasus kustanya pun tidak terdeteksi.

Stigma ini juga mampu memperburuk keadaan sang penderita. Sebab tidak sedikit komunitas yang akhirnya mengucilkan mereka, karena dianggap membawa kesialan bagi komunitasnya.

Kemudian, stigma lainnya yang muncul adalah bahwa kusta bisa menular melalui sentuhan. dr. Febriana sendiri dengan tegas mengatakan bahwa penularan kusta tidak berlangsung secepat flu dan tidak akan menular hanya karena sentuhan.

Baca Juga: Yang Tidak Boleh Kamu Lakukan Jika Menderita Tipes

Justru penderita kusta ini sangat membutuhkan dukungan dari orang sekitar. Sebab pengobatan kusta adalah pengobatan dengan jangka panjang yang membutuhkan banyak dukungan. Nah, kalau dalam satu ruangan saja tidak mau, bagaimana mereka bisa mendapatkan dukungan untuk menjalani pengobatan?

Yang terakhir adalah informasi tentang kusta tidak bisa disembuhkan, yang akan berdampak pada meningkatnya keputusasaan penderita sehingga mereka merasa sia-sia dan percuma walau menjalani pengobatan. Padahal fakta sebenarnya, kusta ini bisa disembuhkan.

Gaung Kusta di Udara

Media tentunya memiliki peran yang penting untuk membantu pemenuhan hak-hak kelompok marginal, salah satunya informasi terkait penyakit kusta ini.

Kerja sama NLR Indonesia dengan KBR tentu saja membantu meningkatkan akses publik terhadap informasi dan pengetahuan tentang kusta dan disabilitas.

Seperti disampaikan Manager Program & Podcast KBR, Malika, yang juga menjadi narasumber dalam ‘Gaung Kusta di Udara’, lewat kolaborasi tersebut, KBR turut menyuarakan gaung kusta kepada masyarakat agar tidak ada lagi reduksi keberadaan penderi kusta yang bisa berujung pada diskriminasi sosial.

Semoga dengan banyaknya informasi tentang kusta yang didapatkan, kita bisa lebih memerhatikan lingkungan sekitar untuk tidak mengucilkan siapa pun penderita kusta di sekeliling kita.