Cerpen · Oktober 21, 2020 0

Cerpen: Pertemuan

pertemuan
(Foto: Pexels).

Duh beneran nggak inget pernah nulis cerpen ini. Haha. Sebenarnya lagi iseng buka-bukain draft yang cukup numpuk, kemudian menemukan tulisan tahun 2014 ini. Yang artinya, umurku waktu itu 18 tahun, terus sekarang udah…. Hahaha nggak tahu deh pusing.

Yaudahlah ya berhubung sudah membangkai enam tahun jadi publish aja. Yang bersedia baca, mangga. Tapi saran aku sih nggak usah, daripada nanti nyesel udah buang-buang waktu. Nggak ding, nggak papa. Biar time on site nambah.

****

“Sudah lama, ya.”

Itu kalimat pertamamu setelah lama tak bertemu. Mungkin kau sadar, bahwa aku tak sanggup memulai percakapan ini. Jadi, kau berinisiatif untuk memulainya terlebih dahulu. Sungguh, debaran jantung ini tak mau kompromi. Rasanya tubuhku mulai melemas.

“Eh, iya. Lama banget..”

Akhirnya, kalimat itu mengalir juga dari mulutku. Aku tidak ingin terlihat canggung saat ini. Apalagi di tempat seramai toko buku ini.

“Lagi ngapain di sini?”

“Aku mau ngelamar jadi penjaga kasir.” Aku menjawab sekenanya.

“Hah?”

“Apa? Gak usah lebay gitu..”

“Serius, kamu mau ngelamar jadi penjaga kasir di sini?”

“Menurut kamu?”

Raut mukaku berubah menjadi cemberut. Dan kau malah menertawakanku.

“Pertanyaan kamu retoris, sih.”

“Ya, siapa sangka, cita-cita kamu udah berubah gitu jadi penjaga kasir.” Kau menjawab sambil nyengir. Hatiku semakin berdesir.

Akhirnya kita mencari tempat untuk duduk, sepertinya aku telah lupa tujuan awalku ke sini.

“Kamu, apa kabar?”

Aku ingin cepat-cepat mendengar jawaban darimu. Mungkin, bila kau jawab, rasa ingin tahu yang sekian lama tersimpan dalam otakku ini bisa cukup terobati.

“Alhamdulillah baik, kabarmu? Nggak nyangka, ya, bisa kebetulan ketemu kamu di tempat ini.”

“Aku juga baik. Iya, semenjak lulus kita jarang ketemu. Kayaknya, terakhir aku ketemu kamu waktu liburan semester pertama itu deh. Hehe, kamu sih kalo libur kecepetan.”

“Bukannya kamu ya, yang liburnya kelamaan?”

Kamu tertawa lagi, mengejekku, seolah-olah kita sedang mengulang keadaan saat berada di ruang kelas dulu, saling mengejek dan menertawakan ketika ada di antara teman-teman kita yang terlihat membuat kesalahan atau ketika memang ada hal-hal yang lucu untuk dijadikan bahan tertawaan.

“Ye, ngejek.”

Sore ini, entah kekuatan dari mana yang membawa kita ke tempat ini, dan akhirnya kekuatan itu mempertemukan kita berdua, di lantai dua toko buku ini. Kau tidak banyak berubah. Suaramu juga tidak jauh berbeda, masih tetap menjadi suara yang aku rindukan, terlebih untuk tiga tahun ini.

Setelah lulus SMA, dunia jadi berubah. Kita tak saling tahu kabar masing-masing dari kita. Dunia kampus sepertinya membawa kita ke dalam dimensi yang sudah berbeda. Banyak beban dan tanggung jawab yang setiap hari kita temui. Mungkin, itulah yang menandakan bahwa kita sudah semakin dewasa.

Liburan semester pertama, kita masih sempat bertemu dalam reuni yang tak sengaja dibuat. Sayang, tahun-tahun berikutnya, kita tak pernah bertatap muka kembali. Mungkin saja jadwal libur kita yang memang berbeda. Kebanyakan dari teman-temanku berkuliah di Perguruan Tinggi Negeri, dan kau adalah salah satunya. Sedangkan aku adalah satu dari sedikitnya yang berkuliah di Perguruan Tinggi Swasta. Meskipun di swasta, kampusku terbilang sangat bagus. Tentu saja, karena kampus yang kumasuki menjadi salah satu dari sepuluh Perguruan Tinggi terbaik di Indonesia. Aku pun merasa bangga bisa masuk ke kampus yang megah ini. Yang jelas, kita sama-sama hidup di kota perantauan sekarang. Itu yang membuat kau terasa semakin jauh.

“Masih suka nulis?”

Kau menatapku dan tersenyum dengan manis. Wajah teduhmu tidak pernah hilang. Tampaknya hanya aku yang masih terlihat canggung sekarang.

“Masih. Nulis-nulis kayak biasa aja.” Lalu kau diam.

“Eh… Ngomong-ngomong, tiga tahun ini kamu ngapain aja?” giliranku memberikan pertanyaan.

“Aku juga sibuk nulis. Nulis skripsi, hehe.”

Dulu, kita memang masuk di kelas yang sama, lulus dari sekolah pun bersama-sama. Begitu juga ketika kita kuliah. Tapi, aku tak heran jika saat ini kau sudah menjadi sarjana lebih dahulu ketimbang aku.

Kita sama-sama tersenyum. Kemudian, untuk jeda yang lumayan panjang kita akhirnya memilih untuk diam.

Baca Juga: Rinai dan Gelora

Dalam keadaan seperti ini, rasanya aku ingin menjadi seperti Kim Do Joon dalam serial drama ‘You Who Came from The Star’, di mana ia bisa memberhentikan waktu seketika dengan tangannya. Aku juga sama, berharap bisa memberhentikan waktu saat ini. Aku tak ingin momen-momen seperti ini berakhir begitu saja. Sebuah kesempatan yang mungkin tak kan pernah bisa kucerna. Tapi, mau bagaimana lagi. Langit sudah terlihat semakin sore, dan aku mau tidak mau harus mengakhiri pertemuan kita kali ini.

“Udah sore banget, aku pulang duluan ya.” Kalimat itu keluar juga dari mulutku.

“Oke.”

Jawaban yang tidak aku harapkan. Aku kira, kamu akan memintaku untuk bertahan sebentar lagi di sini dan berkata bahwa kamu masih rindu denganku. Hahaha, tapi sayangnya itu hanya khayalanku saja. Sudahlah, lupakan.  Aku tahu, perpisahan memang akan terus terjadi. Lalu aku pun pulang.

Usai shalat isya, aku menyalakan laptop, kemudian kubuka Twitter dan menulis sebuah tweet atas pertemuan tadi. “Pertemuan ini memang tak akan pernah cukup. Dan pada akhirnya, kita sama-sama berlalu dan pulang.”

Setelah menulis tweet, aku kemudian bertanya dalam hati apakah saat ini kau sudah memiliki akun Twitter? Tanpa pikir panjang, aku mencari namamu dengan keyword Dirga Nata. Dan ya, aku menemukanmu! Langsung saja kusibukkan diriku membuka profile Twittermu sebelum memfollow. Tidak banyak tweet yang kamu tulis di sana. Tapi lima belas menit yang lalu, kau membuat sebuah tweet: “Aku tak menyangka bahwa ada waktu-waktu yang tak terduga seperti ini.” Aku sempat berharap tweet tersebut ditujukan untukku. Ah! Semua tentangmu adalah yang kuharapkan.

Aku pun menemukan tweet satu bulan lalu. “Tanpa terasa, aku sudah akan meninggalkan kota ini, negeri ini.”

“Memangnya dia mau ke mana?” tanyaku dalam hati.

Tak ada lagi yang menarik yang bisa kudapatkan, karena timelinemu terbilang sepi. Langsung saja kufollow Twittermu.

Beberapa detik setelah kufollow, kau kembali membuat sebuah tweet. “Terima kasih Tuhan, untuk malam terakhir yang Kau berikan. Aku tak akan pernah lupa.”

Aku jadi teringat tweet sebulan lalu yang kubaca. Kau mau pergi kemana? Akhirnya, kuberanikan diri mengirim sebuah direct message untuk menghilangkan rasa penasaranku.

Pukul 20.40

“Hai, sudah ada akun twitter toh. Jangan lupa follback aku ya, hehehe.”

Beberapa menit kemudian pesan balasanmu masuk.

20.47

“Hai juga, wah ketemu lagi nih. Oke J

20.49

“Makasih ya. Eh, aku tadi baca tweet yang kamu tulis tadi. Emang kamu mau kemana? Penasaran nih, kayaknya mau pergi jauh gitu.”

20.52

“Aku mau ke planet Mars.”

21.05

“Oh, aku kira kamu mau bunuh diri.” Aku mulai ngaco.

21.07.

“Kalo aku bunuh diri, ntar kamu nangis lagi. Hahaha…”

Eh? Kok dia tahu. Hahahaha.

21.09.

“Ye, pede banget deh! Eh, aku serius loh.”

Setengah jam kemudian kau baru membalas.

21.39.

“Besok aku berangkat ke Singapura, Ren. Waktu ketemu tadi aku lupa ngasih tahu. Padahal bisa sekalian pamit harusnya”

21.40.

“HAH?”

21.41

“Hei? Kamu kenapa?”

Aku kaget. Shock. Aku tidak pernah menyangka pertemuan pertama setelah sekian lama kutunggu itu ternyata juga menjadi akhir pertemuan kita. Aku tak tahu lagi harus berkata apa. Aku ingin menangis tapi aku tak bisa.

Aku mengambil handphone. Aku ingin sekali meneleponmu dan berharap bahwa yang kau katakan tadi hanya sebuah candaan. Aku mencari-cari nomor kontakmu yang pernah kusimpan. Aku berharap nomor itu masih aktif. Aku menguatkan hatiku.

Setelah menemukan kontakmu, aku menekan tombol telepon. Beberapa detik kemudian teleponku tersambung. “Alhamdulillah.”

“Assalamualaikum..” terdengar suara dari seberang telepon di sana.

“Waalaikumussalam. Dirga?”

“Iya, ini Rena, kan?”

“Eh, iya. Ini aku, Rena…”

“Ada apa, Ren? Aku kira kamu udah tidur tadi.”

“Gak apa-apa.” Aku diam sesaat. Kemudian melanjutkan perkataanku.

“Aku juga gak tau kenapa bisa nelpon kamu malem-malem gini.”

“Aku gak keberatan kok, lagian sekarang baru jam sepuluh lewat.”

“Aku.. Aku belum percaya perkataan kamu tadi yang tentang pergi ke Singapura.” aku mengeluarkan kalimat itu dengan agak terbata.

“Aku serius, Ren. Hari ini hari terakhir aku di Indonesia sebelum besok aku berangkat. Aku dapet beasiswa di Asia Pacific University of Technology di Singapura. Dan besok, aku udah harus berangkat ke sana.”

Aku merasakan dada ini menjadi sesak. Aku sempurna lemas. Aku terdiam sangat lama. Kau juga mulai ikut diam.

“Ren, kamu tahu? Aku sering baca tulisan-tulisan kamu di blog. Tidak jarang aku juga menemukan tulisanmu yang ditujukan untuk seseorang, yang aku pun gak tahu itu untuk siapa. Tapi satu hal yang mungkin kamu gak pernah tahu. Aku… pernah berharap bahwa seseorang itu adalah aku.” Tiba-tiba ia bicara panjang.

Baca Juga: Cerpen: Sebuah Buku dan Gelas Plastik di Hadapanmu

Kali ini aku benar-benar tak menyangka. Seseorang yang kucintai diam-diam selama empat setengah tahun ini, berbicara sesuatu yang tak pernah aku kira. Apakah cinta yang kutahan selama ini benar-benar berbalas sekarang?

“Lalu saat ini? Apa harapanmu masih bersisa?”

Kau diam. Aku takut kau menjawab tidak.

“Mungkin… kupikir itu masih”

Deg! Aku seolah tak percaya. Kali ini air mataku benar-benar jatuh.

“Aku akan nunggu kamu.”

“Ren, kamu serius?”

“Aku serius, Dir. Berapa lama kamu di sana?”

“Kurang lebih tiga tahun. Dan selama itu, aku gak diperbolehkan pulang ke Indonesia”

“Dir. Aku sudah menunggumu selama empat setengah tahun ini. Dan selama itu, aku hanya bisa menyampaikannya lewat tulisan. Aku selalu berpikir, Dir,  apapun yang aku tulis memang tidak akan pernah bisa menyelesaikan rindu. Tapi aku berharap, suatu saat, semua tulisanku bisa terurai. Sampai-sampai udara mampu membawanya kepadamu. Dan aku siap jika aku harus menunggu kamu selama tiga tahun lagi.”

“Terima kasih, Rena. Aku akan belajar dengan baik, lalu pulang secepat yang  aku bisa.”

“Aku percaya.”

Lalu kita sama-sama tak mampu lagi berkata.

***

Create new post.

“Rasanya kita sama-sama tahu apa yang terjadi. Memendam perasaan terhadap seseorang bukanlah perkara mudah. Tapi kesulitan itu akan hilang dengan sendirinya setelah kita tahu bahwa harapan itu ada dan nyata.

Akhirnya memang, kejujuran dan kebenaran adalah kata kunci di balik semua dramatisasi cinta yang manis. Hanya itu. Jika tidak, pasti akan ada kesalahan dalam bahasa cinta kita. Tidak mudah memang, tapi begitulah cinta; selalu punya syaratnya sendiri.”

Publish.

***