Cuitan · September 23, 2016 2

Apa Kabar Kemudian

Source: favim.com
Kamu mengingat-ingat sesuatu di tahun lalu. Ketika seorang temanmu berkata sambil menunggu, “habis ini, kamu pasti nulis.” Kamu meninggikan alis sebelah kanan, lantas bertanya dalam hati ada apa gerangan.
“Kan habis ketemu.” Seperti paham kebingungan, temanmu menjelaskan. Tapi kamu masih diam.
“Aku tau. Aku suka baca lho.” Kamu sekarang sadar kalau ia sedang mengejekmu.
“Dasar ih, stalker. Nggak akan nih, liat aja.” Sudah terlanjur gengsi. Kamu harus menentang. Meskipun ketika kamu berpikir ulang, kamu ternyata membenarkan. 
Satu bulan. Dua bulan. Sepertinya sudah jauh dari waktu pertemuan. Kamu menulis kemudian. Hmm, tidak akan ketahuan, bukan?
*
Kadang, kamu merasa, keinginan menulis menjadi lebih besar ketika mendapatkan sebuah pertemuan. Barangkali apa saja. Terlebih kalau itu adalah pertemuan yang… Hmm… kalau ditakar-takar, sungguh merupakan kesempatan yang langka. Mungkin. Bisa jadi, pertemuan mampu memberikan stimulus kepadamu. Dibanding ketiadaan yang kemudian merupa menjadi kemalasan. 
Lantas kamu bisa menganggap bahwa tidak ada keinginan yang besar. Bahwa kepalamu seakan mengatakan, ”Entah. Kok nggak begitu pingin aja, ya.”
See?
Kalau diartikan, kamu memang pemalas. Tidak ingin menjadi begitu bekerja keras. Otakmu tidak mau diajak meliar ke arah lain. Di kepalamu seperti hanya ada satu. Sungguh sulit ya menjadi apa. Kini, jarimu menjelma sebagai pertanyaan-pertanyaan. Sementara sebuah layar, ia menampakkan keinginan.
*
Sudah lebih dari satu tahun. Mungkin nanti akan jadi dua tahun atau tiga tahun. Semoga kamu sudah jauh lebih baik di apa kabar kemudian. 😀
Tidak usah dimengerti, apalagi dihayati. Kamu bukan Zainuddin. :p